favicon
Pengen Bandeng Presto Khas Semarang?
Dapatkan!

Hadist Larangan Menyuap

   
Hadist Larangan Menyuap

Hadist Larangan Menyuap

Makin lama, suap menjadi mentalitas bersama yang berlindung dalam budaya "tahu sama tahu".



HADIST LARANGAN MENYUAP
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Dari realita yang ada, dan sering juga kita dengar tentang kasus suap menyuap, padahal telah jelas dilarang dalam agama islam, telah dijelaskan dalam nash, yaitu al Quran dan al hadits bahwa perbuatan suap menyuap itu diharamkan. Akan tetapi banyak sekali orang yang melakukan perbuatan suap menyuap, biasanya didalam pengadilan, di luar itupun masih banyak lagi, seperti untuk masuk sekolah yang bonafit bukan hanya bermodal dengan nilai UN yang bagus akan tetapi uang tetap ada di belakang semua itu, oleh karena itu kita sebagai umat islam, jauhilah semua perbuatan yang tercela tersebut.
Suap terjadi sebagai ungkapan gejala venalitas yang makin merebak. Secara sosiologis, istilah venalitas menunjuk pada suatu keadaan saat uang bisa digunakan membayar hal-hal yang secara hakiki tidak bisa dibeli dengan uang.
Keadilan bisa dipertukarkan dengan uang. Begitu pula dengan pasal-pasal dalam kebijakan. Dalam uang, terdapat faktor ekonomi yang bernama keuntungan.
Dalam jangka pendek, suap paling mudah dilakukan karena langkah itu akan memotong serangkaian prosedur demokrasi yang rumit dan melelahkan serta hanya akan menghasilkan "keadilan" yang tidak diinginkan. Elite politik dan ekonomi melihat suap sebagai langkah potong kompas yang bisa dilakukan untuk menghindari dirinya menderita kerugian secara ekonomis.
Suap berkaitan dengan mentalitas dan sistem. Suap terjadi akibat sebagian kecil elite sejak semula sudah terdidik untuk melakukannya. Untuk menjadi anggota parlemen, sudah menjadi rahasia umum berbagai jenis KKN dilakukan, dari yang skala kecil sampai besar. Begitu pula untuk "menjadi pejabat". Makin lama, suap menjadi mentalitas bersama yang berlindung dalam budaya "tahu sama tahu".
B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini akan dibahas tentang hadits-hadits larangan suap dan bagaimana pendapat beberapa ulama dan menurut undang-undang.
BAB II
PEMBAHASAN

A. LARANGAN MENYUAP
Hadis tentang larangan menyuap
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: ( لَعَنَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم اَلرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ فِي اَلْحُكْمِ ) رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ, وَحَسَّنَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ
Artinya : “Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melaknat penyuap dan penerima suap dalam masalah hukum. Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits hasan menurut Tirmidzi dan shahih menurut Ibnu Hibban

َوَعَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عَمْرِوٍ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ: ( لَعَنَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم اَلرَّاشِي وَالْمُرْتَشِيَ ) رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ, وَاَلتِّرْمِذِيُّ وَصَحَّحَهُ

Artinya :  “ Dari Abdullah Ibnu Amar Ibnu al-'Ash Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melaknat orang yang memberi dan menerima suap. Riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi. Hadits shahih menurut Tirmidzi

Dalam kedua hadits tersebut di atas telah diterangkan dengan jelas bahwasanya Allah mengutuk orang yang memberi uang sogok dan yang menerimanya.
وعن عمر وبن مرة قال سمعت رسول الله ص م يقولما من امام اووال يغلق بابه دون ذويالحاجة ولخلة والمسكنة الا اغلق الله ابواب اسماء دون خلته وحاجته ومسكنته (رواه احمد و الترمذي ) 
Artinya : “dan dari ‘ Amr bin Murrah,ai berkata : “aku mendengar Rasulullah saw bersabda, tidak seorang imam punatau  penguasa yang menutup pintunya terhadap orang-orang yang berkepentingan, orang fakir dan miskin, melaikan allah akan menutup pintu-pintu (rizki) dari langit terhadap kefakirannya,kebutuhannya dan kemiskinanya.(H.R. Akhmad dan Tirmidzi) 
وعن ثوبان قال : لعن رسول الله صل الله عليه واله وسلم الراشى والمر تشى .والراش.يعن الدى يمس بينهما.  رواه احمد
“ Rasulullah mengutuk orang yang memberi uang sogok dan yang menerimanya dan mereka yang menjadi perantara “.(H.R. Ahmad ; Al-Muntaqa II: 935)

Kata khallah itu sendiri seperti tersebut dalam kitab nihayah artinya ialah kebutuhan dan kemiskinan. Tetapi kata ini di ma’thufkan (dihubungkan) dengan kata sebelumnya yaitu “hajah” yang artinya lebih khusus. Dalam istilah nahwu disebut “athful ‘am ‘alal khas”. Hadits ini menunjukan ketidak halalnya seorang kepala (penguasa) menutup pintunya terhadap orang-orang yang berkepentingan, walaupun itu orang yang kafir dan miskin.  
Pengartian Suap
Uang bukan segalanya, namun segalanya butuh uang. Inilah slogan yang sering terdengar dikalangan masyarakat berkaitan dengan melegalkan segala cara untuk memperoleh yang diinginkan. Bagaimana tidak, banyak kasus yang dapat dijumpai jika tidak ada ‘uang pelicin’ maka akan menemui banyak kendala, birokrasi berbelit-belit atau mungkin terjadi pengulur-uluran waktu untuk mencapai kesepakatan. Sudah tidak asing lagi ‘uang pelicin’ atau suap bagi kita.
Namun kenyataannya banyak yang menyalah artikan suap sebagai hadiah, akan tetapi keduanya sebenanya sangatlah berbeda arti. Jika kita tidak memahaminya dengan benar dan meremehkan hal tersebut bisa jadi kita akan terimbas baik hanya sebagai pelaku suap atau penerima suap.
Secara Istilah (kamus Bahasa Indonesia) Suap adalah memberi uang dan sebagainya kepadapetugas (pegawai), dengan harapan mendapatkan kemudahan dalam suatu urusan, sedangkan secara istilah dalam islam disebut Ar-Risywah, Menurut Al-Mula Ali Al-Qari rahimahullah
“Ar-Risywah (suap) adalah sesuatu yang diberikan untuk menggagalkan perkara yang benar atau mewujudkan perkara yang bathil (tidak benar).”
Dalam konteks sistem, suap terjadi karena mekanisme yang ada dalam proses kebijakan memiliki celah-celah. Argumentasi yang dikemukakan tiap pihak mentah karena apa yang dipikirkan hanyalah kepentingan golongan masing-masing. Di satu sisi, parlemen sudah kurang peduli terhadap konstituen dan rakyatnya, di sisi lain penyuap merasa prosedur birokrasi yang ada terlalu membebani, tidak realistis, dan sering mengada-ada.
Suap terjadi akibat ketidakpercayaan dan keengganan terhadap demokrasi yang bisa melahirkan kehidupan publik yang lebih sehat. Suap juga terjadi akibat prasangka negatif bahwa segala jalan bisa ditempuh asalkan tujuan tercapai. Akibatnya, walaupun dalam proses demokrasi sekalipun yang tampak di depan mata, di dalamnya publik jarang mengetahui ada suap. Sulit dibuktikan apalagi ditangkap.
Memberantas kasus suap bisa dilakukan dalam dua perspektif sekaligus. Pertama, secara jangka panjang elite politik harus dipilih melalui mekanisme yang benar-benar bersih. Mereka harus terbukti memiliki integritas tinggi. Langkah itu diharapkan melahirkan budaya baru berbangsa dan bernegara. Kedua, dalam jangka pendek, sanksi hukum atas pelaku penyuapan (pemberi dan penerima) harus tegas dijatuhkan.
Hukum yang berenergi akan mengabaikan imunitas sekelompok masyarakat yang seolah-olah memiliki imunitas hukum. Kenyataannya, selama ini seseorang merasa kebal hukum apabila ia memiliki kekuasaan untuk membelinya. Segala sanksi atas pelanggaran hukum bisa dibeli karena "sudah ada harganya". Begitu bebalnya masyarakat elite kita, bahkan sanksi moral masyarakat yang sudah dijatuhkan sejak lama tidak juga mengubah perilaku. Sanksi hukum akan memperkuat sanksi moral itu sambil tetap berharap ada efek jera dan memberikan pelajaran kepada yang lain.
Budaya elite di negeri ini sering berlomba-lomba untuk mencari imunitas karena merasa dirinya memiliki kekuatan untuk berbuat segala sesuatu. Kekebalan atas hukum melahirkan kebebalan yang sangat menyebalkan. Praktek hukum tidak ubahnya orang membelah bambu, injak yang bawah dan selamatkan yang atas. Para mafia dan "pialang keadilan" mondar-mandir mencari mangsa.
Suap menjadikan hukum mandul dan demokrasi mati. Mekanisme dan aturan yang ditetapkan untuk kebaikan bersama, secara bersama-sama pula dilanggar, baik dengan cara terang-terangan maupun yang sangat tidak kelihatan. Karena seperti itulah harus dikatakan bahwa suap, apa pun dan di mana pun, merupakan pengkhianatan terhadap publik secara nyata.
Berkat kecanggihan teknologi dan modernisasi, kini suap juga makin sulit diungkap. Pelakunya biasanya selalu belajar memahami seluk-beluk lingkungan tempat ia bekerja, termasuk mempelajari taktik bagaimana keluar dari jerat hukum.
Suap terjadi bukan hanya di jalanan, antara pelanggar lalu lintas dan aparat, melainkan juga di kantor kelurahan maupun kecamatan. Ia juga terjadi di parlemen, tempat teladan dan pengharapan disemaikan.
 Menyuap  dalam masalah hukum adalah memberikan sesuatu, baik berupa uang maupun lainya kepada penegak hukum agar terlepas  dari ancaman hukum atau mendapat hukum ringan.
            Perbuatan seperti itu sangat dilarang dalam Islam dan disepakati oleh para ulama sebagai perbuatan haram. Harta yang diterima dari hasil menyuap tersebut tergolong dalam harta yang diperoleh melalui jalan batil. Allah SWT berfirman dalam al Qur'an. 
Artinya:Dan janganlah sebagian kamu memakan sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang batil,(janganlah kamu)membawa (urusan )harta itu kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebagian pada harta benda orang lain dengan(jalan) berbuat dosa padahal kamu mengetahui.(al Baqarah:188)
            Suap-menyuap sangat berbahaya dalam kehidupan masyarakat karena akan merusak berbagai tatanan atas sistem dalam masyarakat, dan menyebabkan terjadinya kecerobohan dan kesalahan dalam menetapkan ketetapan hukum sehingga hukum dapat dipermainkan dengan uang. Akibatnya terjadi kekacauan dan ketidakadilan .  dengan suap, banyak para pelanggar yang seharusnya diberi hukuman berat justru mendapat hukuman ringan, bahkan lolos dari jeratan hukum. sebaliknya, banyak pelanggar hukum kecil, yang dilakukan oleh orang kecil mendapat hukuman sangat berat karena tidak memiliki  uang untuk menyuap para hakim. Tak heran bila seorang pujangga sebagaimana yang dikutip yusuf al Qardawy,  menyindir tentang suap dalam kata-katanya:
            Jika anda tidak dapat mendapat sesuatu
            Yang anda butuhkan
            Sedangkan anda sangat menginginkan
            Maka kirimlah juruh damai
            Dan janganlah pesan apa-apa
            Juruh damai itu adalah uang
            Bagaimanapun juga, seorang hakim yang  telah mendapatkan uang suap tidak mungkin dapat berbuat adil. Ia akan membolak balikkan supremasi hukum. Apalagi kalau perundang–undangan yang digunakannya hasil buatan manusia, Mudah sekali baginya untuk megutak atiknya sesuai dengan kehendaknya. Lama-kelamaan masyarakat terutama golongan kecil tidak akan percaya lagi pada penegak hukum karna selalu menjadi pihak yang dirugikan.. Dengan demikian, hukum rimbah yang berlaku,yaitu siapa yang kuat siapa yang menang.
            Islam melarang perbuatan tersebut, bahkan menggolongkannya sebagai salah satu dosa besar, yang dilaknat oleh Allah dan Rasul-Nya.karna perbuatan tersebut tidak hanya melecehkan hukum, tetapi lebih jauh lagi melecehkan hak seseorang untuk mendapat perlakuan yang sama didepan hukum. Oleh karena itu, seorang hakim hendaklah tidak menerima pemberian apapun dan dari pihak siapapun selain gajinya sebagai hakim.
            Untuk mengurangi perbuatan suap-menyuap dalam masalah hukum, jabatan hakim lebih utama diberikan kepada orang yang berkecukupan dari pada dijabat oleh mereka yang hidupnya serba kekurangan karena kemiskinan seorang hakim akan mudah membawa dirinya untuk berusaha mendapatkan sesuatu yang bukan haknya.
            Sebenarnya, suap-menyuap  tidak hanya dilarang dalam masalah hukum saja, tetapi dalam berbagai aktifitas dan kegiatan. dalam beberapa hadis lainnya, suap-menyuap tidak dikhususkan terhadap masalah hukum saja, tetapi bersifat umum, seperti dalam hadis yang Artinya: Dari Abdullah bin Amr, Rasulullah SAW. Melaknat penyuap dan orang yang disuap(H.R turmudzi)
            Misalnya dalam penerimaan tenaga kerja, jika didasarkan pada besarnya uang suap, bukan pada profesionalisme dan kemanpuan, hal ini diyakini akan merusak kualitas dan kuantitas hasil kerja, bahkan tidak tertutup kemugkinan bahwa pekerja tersebut tidak  manpu melaksanakan pekerjaan yang ditugaskan kepadanya, sehingga akan merugikan rakyat.
            Begitu juga satu proyek atau tender yang didapatkan melalui suap, maka pemenang tender akan mengerjakan proyeknya tidak sesuai program atau rencana sebagaimana yang ada alam gambar, tetapi mengurangi kualitas agar uang yang dipakai untuk menyuap dapat tertutupi atau tidak merugi. Sehingga tidak jarang hasil pekerjaan mereka tidak tahan lama atau cepat rusak.
            Dengan demikian, kapan dan dimana saja, suap akan menyebabkan kerugian bagi masyarakat banyak, dengan demikian, larangan Islam untuk menjauhi suap tidak lain agar manusia terhindar dari kerusakan dan kebinasaan didunia dan siksa Allah SWT kelak diakhirat.
            Sangat disayangkan suap-menyuap dewasa ini seperti sudah menjadi penyakit menahun yang sangat sulit disembuhkan bahkan disinyalir sudah membudaya. Segala aktifitas, baik yang beskala kecil maupun yang berskala besar tidak terlepas dari suap-menyuap. dengan kata lain,sebagaimana yang diungkapkan Muh Qurais shihab,  masyarakat telah melahirkan budaya yang tadinya munkar(tidak dibenarkan)dapat menjadi ma’ruf(dikenal dan dinilai baik)apabila berulang-ulang dilakukan banyak orang. Yang ma’ruf pun dapat menjadi munkar bila tidak lagi dilakukan orang.
            Memenurut Ibn Ismail Al khailani sebagaimana yang dikutif Rachmat syafe’I,suap diperbolehkan dalam rangka memperoleh sesuatu yang menjadi haknya.atau untuk mencegah dari kedzaliman,baik yang menimpa dirinya maupun keluarganya. Hal itu didasarkan pada pendapat tabiin bahwa boleh melakukan suap jika takut tertimpa dzalim, baik untuk dirinya maupun keluarganya. 
            Adapun menurut Imam Asy Syaukani bahwa sesunghunya keharaman suap adalah mutlak dan tidak dapat ditakhsis.namun demikian dalam Islam ada kaidah
Al daruratu tubihu al mahdurat
(kemudaratan membolehkan sesuatu yang membahayakan)
Dengan demikian, jika tidak ada jalan lain bagi seseorang untuk menjaga dirinya dari kerusakan, kecuali dengan melakukan suap ia boleh melakukannya.
             Menurut Quraish shihab, argumen para lama di atas tidaklah jelas, tetapi tampaknya ketika itu mirip dengan keadaan pada masa sekarang. Tanpaknya budaya sogok-menyogok telah menjamur, sehingga menyulitkan penuntut hak untuk memperoleh haknya maka lahirlah pendapat yang membolehkan tadi.
            Akan tetapi, menurutnya,Ash syaukani mengingatkan bahwa pada dasarnya tidak mmbolehkan pemberian dan penerimaan sesuatu dari seseorang,kecuali engan hati yang tulus, apakah mereka yang memberi pelicin itu tulus? Dan tidaklah perbuatan tersebut menumbusuburkan praktek suap-menyuap dalam masyarakat?bukankan dengan memberi walaupun dengan dalih meraih hak yang sah seseorag telah membantu sipenerimah untuk memperoleh sesuatu yang haram dan terkutuk. Dengan demikian sipemberi sedikit ataupun banyak menurutnya, telah pulah menerimah sangsi keharaman dan kutukan atas suap menyuap tersebut.
            Dalam Islam suap-menyuap termasuk pelanggaran berat sehingga Rasulullah SAW telah melaknat para pelaku suap, baik penyuap maupun yang diberi suap, terutama dalam urusan hukum, selain dalam masalah hukum, dalam urusan-urusan lainpun tidak diiperbolehkan dalam Islam.
            Akan tetapi, menurut sebagian ulama, menyuap dibolehkan dalam keadaan terpaksa untuk menghindari kecelakaan atau mendapatkan sesuatu hak yang tidak ada jalan lain, kecuali dengan jalan menyuap.
B. Hukum Suap dari segi Perundang-undangan

Dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 1980 
Pasal 1
Yang dimaksud dengan tindak pidana suap di dalam Undang-Undang ini adalah tindak pidana suap di luar ketentuan peraturan perundang-undangan yang sudah ada.
Pasal 2
Barangsiapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang dengan maksud untuk membujuk supaya orang itu berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum, dipidana karena memberi suap dengan pidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun dan denda sebanyak-banyaknya Rp.15.000.000,- (lima belas juta rupiah).
Pasal 3
Barangsiapa menerima sesuatu atau janji, sedangkan ia mengetahui atau patut dapat menduga bahwa pemberian sesuatu atau janji itu dimaksudkan supaya ia berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum, dipidana karena menerima suap dengan pidana penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp.15.000.000.- (lima belas juta rupiah).
Pasal 4
Apabila tindak pidana tersebut dalam Pasal 2 dan Pasal 3 dilakukan di luar wilayah Republik Indonesia, maka ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku juga terhadapnya. 
Pasal 5
Tindak pidana dalam Undang-Undang ini merupakan kejahatan. 
Pasal 6
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

C. Perbedaan Suap dengan Hadiah

Hadiah dan suap; dua buah kata yang memiliki konotasi yang sangat berbeda, namun sering kali kedua kata ini menjadi rancu dan kabur di masyarakat. Keduanya sering dikonotasikan dengan satu makna; suap, sebuah kata yang tidak sedap.
Sebuah musibah besar; di negeri ini suap menyuap dianggap sebagai suatu hal yang lumrah. Bahkan dalam urusan tertentu dianggap suatu keharusan, sebab tanpa suap maka hamper dipastikan urusan akan jadi rumit dan berbelit. Ditambah lagi korupsi yang juga sudah jadi pemandangan akrab. Nyaris di semua instansi; baik pemerintah ataupun swasta, praktek haram ini kerap selalu terjadi. Padahal jelas sekelai: praktek suap dan korupsi melanggar larangan hukum maupun agama. Suap dan hadiah memiliki perbedaan antara lain :
a. Suap adalah pemberian yang diharamkan syari’at, sedangkan hadiah merupakan yang dianjurkan syari’at.
b. Suap diberikan dengan satu syarat yang disampaikan secara langsung atau tidak langsung ,sedang hadiah diberikan secara ikhlash tanpa syarat.
c. Suap diberikan untuk mencari muka dan mempermudah hal bathil sedangkan hadiah untuk silaturrahim dan kasih saying.
d. Suap dilakukan secara sembunyi-sembunyi berdasar tuntut menuntut, biasanya diberikan dengan berat hati, sedang hadiah diberikan atas sifat kedermawanan.
e. Biasanya Suap diberikan sebelum suatu pekerjaan, sedang hadiah setelahnya


BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Melihat dari pemaparan sebelumya maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Suap (sogok) dalah perbuatan yang dicelah oleh Islam dan disepakati oleh para ulama sebegai perbuatan haram. Suap adalah sebuah perbuatan yang berpotensi merusak sistem yang ada dalam masyarakat karena sogok dapat berpengaruh pada keputusan yang diambil para penegak hukum.
B. Saran
Demikian makalah dari kami, Semoga dengan makalah ini dapat menjadi bahan untuk pemanasan di dalam diskusi kuliah hadist ahkam pidana dan politik islam. Terimakasih.

Daftar Pustaka
Hamidy Mu’ammal Drs,dkk, Terjamahan Nailul Authar Himpunan Hadits-Hadits Hukum, Surabaya :PT. Bina ilmu, 1986.
Rahmat Yafe’I Al hadis, Akidah, social dan Humum. cet II.Bandung: Pustaka setia, 2003.
Terjamah dari departemen agama
Yusuf Qardawy, Fatwa-Fatwa Kontengporer, Jakarta : Gema Insani Pres,1988.
Muhammad Qurais Shihab, Lentera Hati Kisah Dan Hikmah Kehidupan: 1994, Bandung: Mizan.



Last update