favicon
Pengen Bandeng Presto Khas Semarang?
Dapatkan!

Hukum dalam Sebuah Fiksi dan Publisitas

   
Hukum dalam Sebuah Fiksi dan Publisitas

Hukum dalam Sebuah Fiksi dan Publisitas




Tulisan singkat ini mungkin bisa untuk membuka pemikiran dan wawasan kita semua atau bisa dibuat untuk Sekedar renungan dalam belajar ilmu hukum dan tentunya untuk mengembangkan kajian hukum kedepan. Hukum yang selalu digadang-gadang bisa menjadi alat untuk menyelesaikan masalah yang berada dalam masyarakat itu sendiri. Pasal-pasal dalam perundang-undanga menjadi senjata untuk menyelesaikan masalah yang ada di negeri ini.
 
Kelihatannya sungguh membanggakan dan menyenangkan, terutama yang dirasakan oleh warga hukum. Akan tetapi dibalik itu semua ternyata tidak sama, hukum yang diharapkan untuk membuat tentram ternyata belum bisa mengatasi itu semua, bahkan didalam tubuh hukum itu sendiri ada gejolak yang tidak bisa dituntaskan sampai saat ini. Gejolak itu ada pada asas-asas, terutama asas fiksi hukum dan asas publisitas.

Asas fiksi hukum merupakan asas yang menganggap semua orang tahu hukum. Orang dipedalamn hutan dianggap tahu kalau pemerintah membuat undang-undang padahal tidak ada sosialisasi yang sampai ke daerah situ. Terasa sungguh tidak adil bagi warga pedalaman dan warga yang tidak mengerti tentang hukum, karena tidak pernah belajar tentang hukum.

Pada sejarahnya Asas fiksi hukum diperkenalkan di Perancis, dulu pembuatan undang-undang berdasarkan atas nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat, jadi masyarakat sudah mengetahui akan adanya hukum yang akan dibuat. Jadi karena kebanyakan masyarakat sudah tahu maka semua orang dianggap tahu jika ada produk hukum yang terbit, disinilah letak alasan adanya fiksi hukum. Namun keadaan dulu berbeda dengan keadaan saat ini, undang-undang dibuat oleh Negara dan masyarakat sudah semakin banyak, jadi asas fiksi hukum sangat dipertanyakan jika masih digunakan. Menjadi hal yang umum bagi pemerintah untuk menggunakan asas ini untuk melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap masyarakat, dan malas untuk melakukan kegiatan sosialisasi secara massif. 

Dewi Themis dan Yusticia

Ada cerita lagi tentang kemunculan asas fiksi hukum. Dalam mitologi Yunani, Dewa Zeus mengutus dua orang untuk mengatur jalannya hukum yang akan dipatuhi oleh manusia dan untuk para dewa. Dua orang tersebut adalah Yustisia dan Themis.

Yustisia mempunyai tugas untuk menegakan hukum tanpa pandang bulu, oleh karena itu mata dewi Yustisia ditutup oleh Zeus dengan kain. Sedangkan Themis adalah dewi yang mengumumkan ke masyarakat dan para dewa telah ada produk hukum yang harus ditaati oleh semuanya. Yusticia dan Themis muncul secara bersamaan, itu menandakan bahwa hukum berlaku ketika ada publikasi terlebih dahulu, jika ingin dikatakan adil.

Dewi Yusticia tidak akan menjalankan fungsi sebagai penegak huklum jika dewi masyarakat dan dewa mengetahui adanya hukum. Hal inilah yang menyimbolkan bahwa dewi Themis sebagai dewi yang mengayomi. Hal ini juga mengindikasikan bahwa asas publisitas yang bertentangan dengan asas fiksi hukum, karena adanya asas fiksi hukum berarti telah menggugurkan asas publisitas. 

Terlepas perselisihan kedua asas diatas, tentunya kita memandang kedua dewi itu adalah sosok yang manis dan lemah gemulai, keduanya menyegarkan pikiran orang yang memandangnya. Mereka berdua sadalah symbol hukum, jika mereka bisa menyenangkan orang maka, hukum juga harus bisa juga memberikan pengayoman terhadap manusia.

Caranya, produk hukum bersumber dari masyarakat, jadi sifatnya Battom Up, karena saat ini top down masih mendominasi. Usulan Rancangan Undang-Undang kebayakan berasal dari kalangan atas bukan dari kalangan bawah. Jadi ketika produk hukum itu diberlakukan masyarakat akan merasa terpaksa untuk menjalankannya, jika ada seseorang melanggar undang-undang tadi walaupun sejatinya dia tidak tahu-menahu adanya undang-undang itu maka, tetap dihukum, karena dalil asas fiksi hukum.

Hal seperti itu tiak akan pernah terjadi jika produk hukum bersumber dari masyarakat, karena walaupun mereka tidak tahu adanya undang-undang baru mereka tetap mentaatinya. Kenapa demikian? Karena mereka sudah terbiasa menjalankannya. Baru beberapa waktu kemudian masyarakat akan mengetahui dengan sendirinya bahwa kebiasaan mereka ternyat sudah dijadikan menjadi hukum tertulis. Kalau menggunakan cara seperti ini kemungkinan besar bisa meminimalisir pandangan asas fiksi hukum sebagai asas yang menindas.

Editor : Shohibustsani, Aktifis Justisia dan Mahasiswa IAIN Walisongo
Last update