favicon
Pengen Bandeng Presto Khas Semarang?
Dapatkan!

Mekalisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi

   
Mekalisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi

Mekalisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi

MEKANISME IMPEACHMENT DAN HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI
by.Sohibustsani


A.    Pendahuluan
Salah satu persoalan penting setelah terjadinya empat kali perubahan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 adalah adanya ketentuan yang secara eksplisit mengatur pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden disebutkan secara limitatif dalam konstitusi, yaitu pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 7A dan 7B Perubahan Ketiga UUD 1945.
Pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden selanjutnya akan diperiksa, diadili, dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi (MK) apakah pendapat DPR tersebut mempunyai landasan konstitusional atau tidak. Amar putusan MK atas pendapat DPR tersebut sekurangkurangnya terdiri dari tiga kemungkinan. Pertama, amar putusanMK menyatakan bahwa permohonan tidak dapat diterima apabila permohonan tidak memenuhi syarat. Kedua, amar putusan MK menyatakan membenarkan pendapat DPR apabila Presiden dan/ atau Wakil Presiden terbukti melakukan tindakan yang dituduhkan. Ketiga, amar putusan MK menyatakan bahwa permohonan ditolak apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak terbukti melakukan tindakan yang dituduhkan.
Munculnya ketentuan ini sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari adanya keinginan untuk lebih mempertegas system pemerintahan presidensial yang merupakan salah satu kesepakatan dasar Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR,  Penegasan system pemerintahan presidensial tersebut mengandaikan adanya lembaga kepresidenan yang mempunyai legitimasi kuat yang dicirikan dengan (1) adanya masa jabatan Presiden yang bersifat tetap (fixed term); (2) Presiden selain sebagai kepala negara juga kepala pemerintahan; (3) adanya mekanisme saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances); dan (4) adanya mekanisme impeachment.  Sebelum terjadinya perubahan terhadap UUD 1945, Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dengan alasan-alasan yang bersifat politik, bukan yuridis. Hal ini tidak lazim diterapkan di Negara dengan sistem pemerintahan presidensial. Oleh karena itu, Perubahan Ketiga UUD 1945 memuat ketentuan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya yang semata-mata didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat yuridis dan hanya mengacu pada ketentuan normatif-limitatif yang disebutkan di dalam konstitusi. Selain itu, proses pemberhentian tersebut hanya dapat dilakukan setelah didahului adanya proses konstitusional melalui Mahkamah Konstitusi (MK) yang akan memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Adanya kemungkinan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR inilah yang secara teknis ketatanegaraan disebut dengan istilah impeachment.
Akan tetapi, yang menjadi persoalan selanjutnya, ketentuanketentuan mengenai impeachment yang terdapat di dalam konstitusi tidak mengatur lebih jauh persoalan-persoalan teknis, sehingga pada saat ini masih diupayakan formulasi yang tepat terhadapnya. Ada banyak persolan yang tidak atau belum sepenuhnya bisa terjawab dengan sebaik-baiknya. Di antara beberapa persoalan tersebut adalah apakah proses impeachment tunduk pada prinsip-prinsip dan asas-asas yang terdapat di dalam hukum pidana dan hukum acara pidana, atau perlukah disusun satu hukum acara tersendiri; apakah diperlukan semacam special prosecutor yang dibentuk secara khusus untuk melakukan penuntutan terhadap Presiden di depan siding yang digelar oleh MK; bagaimanakah tata cara DPR mengumpulkan bukti-bukti, sehingga bisa sampai pada suatu kesimpulan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden; apakah yang dimaksud dengan kata “pendapat” yang terdapat di dalam Pasal 7A dan 7B tersebut berupa “pendapat politik” yang berarti secara luas bisa dilatarbelakangi persoalan suka atau tidak suka (like and dislike) kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden ataukah “pendapat hukum” yang berarti harus terukur dan terbingkai oleh normanorma yuridis; apabila MK memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti telah melakukan pelanggaran hukum atau tidak lagi memenuhi syarat dan DPR telah menyelenggarakan siding paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/ atau Wakil Presiden kepada MPR dan MPR pun menerima usulan tersebut, maka bisakah di kemudian hari, setelah tidak menjabat lagi, Presiden dan/atau Wakil Presiden diadili (lagi) di peradilan umum dan tidak melanggar asas ne bis in idem dalam hukum pidana; apakah proses peradilan yang bersifat khusus bagi Presiden dan/ atau Wakil Presiden ini tidak bertentangan dengan asas persamaan di depan hukum (equality before the law); dan mengingat putusan MK yang memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti telah melakukan pelanggaran hukum atau tidak lagi memenuhi syarat tidak mengikat MPR, apakah ini bisa diartikan bertentangan dengan prinsip supremasi hukum (supremacy of law) yang dikenal dalam hukum tata negara.


B.    Rumusan Masalah
Makalah ini akan menyuguhkan beberapa pembahasan mengenai IMPEACHMENT yakni:
1)    Definisi Operasional impeachment?
2)    Mekanisme impeachment di dalam ketentuan Perundang-undangan?
3)    Proses impeachment di Mahkamah Konstitusi?



PEMBAHASAN

A.    Definisi Impeachment
Sebagaimana telah disebutkan, secara historis, impeachment berasal dari abad ke-14 di Inggris. Parlemen menggunakan lembaga impeachment untuk memproses pejabat-pejabat tinggi dan individu-individu yang amat powerful, yang terkait dalam kasus korupsi, atau hal-hal lain yang bukan merupakan kewenangan pengadilan biasa.
Black’s Law Dictionary mendefinisikan impeachment sebagai “A criminal proceeding against a public officer, before a quasi political court, instituted by a written accusation called ‘articles of impeachment”.  Impeachment diartikan sebagai suatu proses peradilan pidana terhadap seorang pejabat publik yang dilaksanakan di hadapan Senat, disebut dengan quasi political court. Suatu proses impeachment dimulai dengan adanya articles of impeachment, yang berfungsi sama dengan surat dakwaan dari suatu peradilan pidana. Jadi, artikel impeachment adalah satu surat resmi yang berisi tuduhan yang menyebabkan dimulainya suatu proses impeachment.  Di Amerika Serikat, pengaturan impeachment terdapat dalam Article 2 Section 4 yang menyatakan, “The President, Vice President, and all civil officers of the United States, shall be removed from office on impeachment for and conviction of treason, bribery, or other high crimes and misdemeanors”. Pasal inilah yang kemudian mengilhami konstitusi-konstitusi negara lain dalam pengaturan impeachment termasuk Pasal 7A Perubahan Ketiga UUD 1945 yang menyatakan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Makna Impachment
Istilah to impeach menurut Webster’s New World Dictionary berarti “to bring (a public official) before the proper tribunal on the charges of wrongdoing” . Sementara impeachment itu sendiri sinonim dengan kata accuse  yang berarti mendakwa atau menuduh. Sementara Encyclopedia Britanica menguraikan pengertian impeachment sebagai “a criminal proceeding instituted against a public official by a legislative body”. Dengan demikian nyatalah bahwa impeachment berarti proses pendakwaan atas perbuatan menyimpang dari pejabat publik. Pengertian demikian seringkali kurang dipahami, sehingga seolah-olah lembaga ‘impeachment’ itu identik dengan ‘pemberhentian’. Padahal, proses permintaan pertanggungjawaban yang disebut ‘impeachment’ itu tidak selalu berakhir dengan tindakan pemberhentian terhadap pejabat yang dimintai pertanggungjawaban.
Proses impeachment merupakan salah satu kekuasaan yang dipegang oleh lembaga legislatif sebagai bentuk dari fungsi control parlemen atas tindak-tanduk setiap pejabat publik yang telah diberikan amanat oleh rakyat untuk menjalankan tugas dan kewajibannya. Dan apabila semasa jabatannya pejabat public tersebut melakukan pelanggaran baik yang telah diatur oleh konstitusi maupun hukum positif yang berlaku, maka terhadap yang bersangkutan dapat dihadapkan pada proses impeachment yang mengarah pada pemecatan yang bersangkutan dari jabatannya.

B.    Mekanisme Impeachment di dalam ketentuan Perundang-undangan
Mekanisme impeachment di Indonesia harus melalui 3 (tiga) tahap pada 3 (tiga) lembaga tinggi negara yang berbeda. Tahapan pertama proses impeachment adalah pada DPR. DPR dalam menjalankan fungsi pengawasannya memiliki tugas dan kewenangan untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Bilamana dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan tersebut DPR menemukan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran-pelanggaran yang termasuk dalam alasan impeachment sebagaimana disebutkan dalam pasal 7A UUD 1945  maka DPR setelah sesuai dengan ketentuan prosedur internalnya (tata tertib DPR) mengajukan tuntutan impeachment tersebut kepada MK.
Tahapan kedua proses impeachment berada di tangan MK. Sesuai dengan ketentuan pasal 7B ayat (4) maka MK wajib memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR tersebut. Kedudukan DPR dalam persidangan MK adalah sebagai pihak pemohon karena DPR-lah yang memiliki inisiatif dan berpendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran yang disebutkan dalam pasal 7A UUD 1945.
Setelah MK memberi putusan atas pendapat DPR dan isi putusan MK adalah membenarkan pendapat DPR tersebut maka tahapan ketiga proses impeachment berada di MPR. UUD 1945 memberikan batasan bahwa hanya bilamana MK membenarkan pendapat DPR tersebut maka DPR dapat meneruskan proses impeachment atau usulan pemberhentian ini kepada MPR. Keputusan DPR untuk melanjutkan proses impeachment dari MK ke MPR juga harus melalui keputusan yang diambil dalam siding paripurna DPR.
Proses pengambilan keputusan MPR atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden ini dilakukan dengan mengambil suara terbanyak dalam rapat paripurna. Komposisi dan tata cara pengambilan suara terbanyak itu juga diatur secara rinci oleh UUD 1945 yaitu rapat paripurna MPR harus dihadiri oleh sekurangkurangnya ∫ dari seluruh anggota MPR. Dan persetujuan atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus disepakati oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari anggota MPR yang hadir dalam rapat paripurna.

C.    Proses Impeachment di Mahkamah Konstitusi
1.    Kedudukan Pemohon serta Presiden dan/atau Wakil Presiden
Yang menjadi fokus perhatian dalam proses impeachment di MK adalah bahwa MK memutus benar atau salahnya pendapat DPR atas tuduhan impeachment yang ditujukan kepada Presiden dan/ atau Wakil Presiden. Ketika proses impeachment di MK, MK berarti tidak sedang mengadili Presiden dan/atau Wakil Presiden atas tuduhan impeachment karena yang menjadi obyek dalam proses impeachment di MK adalah pendapat DPR.
MK wajib memeriksa, mengadili dan memberikan putusan atas pendapat tersebut. Pendapat DPR yang diputuskan dalam rapat paripurna adalah lebih bernuansa politis. Oleh sebab itu proses impeachment di MK adalah untuk melihat tuduhan impeachment kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam perspektif hukum. Karena MK merupakan institusi peradilan sebagai salah satu pemegang kekuasaan kehakiman maka putusan yang dijatuhkan MK atas pendapat DPR adalah untuk memberi justifikasi secara hukum.
DPR adalah satu-satunya pihak yang memiliki legal standing untuk beracara di MK dalam rangka tuduhan impeachment kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden. Disebutkan secara eksplisit dalam pasal 80 ayat (1) bahwa “Pemohon adalah DPR”. Akan tetapi permasalahan yang muncul adalah siapakah yang akan mewakili DPR dalam persidangan di MK atau dapatkah DPR menunjuk kuasa hukum untuk mewakili kepentingannya di persidangan MK?
Dalam hal penunjukkan kuasa hukum, UU MK secara umum mengatur bahwa setiap pemohon dan/atau termohon yang beracara di MK dapat didampingi atau diwakili oleh kuasanya.  Berarti DPR sebagai pemohon dalam perkara tuduhan impeachment di MK juga dapat menunjuk kuasa untuk mendampingi atau mewakilinya dalam beracara di MK. Akan tetapi, dengan pertimbangan untuk memberikan keterangan selengkap-lengkapnya kepada Majelis Hakim Konstitusi tentu lebih baik bilamana DPR menunjuk anggota-anggotanya yang terlibat secara intens dalam rapat-rapat di DPR ketika penyusunan tuduhan impeachment. Misalnya anggotaanggota yang mengusulkan hak menyatakan pendapat maupun anggota Panitia Khusus yang dibentuk untuk melakukan pembahasan tuduhan impeachment di DPR.
Bagaimana dengan kedudukan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam proses impeachment di MK? Dari seluruh ketentuan hukum acara pelaksanaan kewenangan dan kewajiban MK yang diatur dalam UU MK hanya ada satu ketentuan hukum acara pelaksanaan kewenangan MK yang secara eksplisit menyebutkan adanya termohon yaitu kewenangan MK memutus sengketa antar lembaga negara. Hal ini berarti bahwa selain kewenangan memutus sengketa lembaga negara, seluruh pelaksanaan hukum acara kewenangan dan kewajiban MK bersifat adversarial. Kehadiran atau pemanggilan pihak-pihak selain pemohon dalam persidangan bukanlah untuk saling berhadapan dengan pemohon namun untuk dimintai keterangan bagi Majelis Hakim Konstitusi melakukan pemeriksaan silang (cross check) ataupun memperkaya data-data yang dibutuhkan.
Dengan demikian, dalam proses impeachment di MK kehadiran Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam persidangan MK bukanlah sebagai termohon. Dan kehadiran Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam persidangan MK adalah hak bukanlah kewajiban. Hak Presiden dan/atau Wakil Presiden yang mengalami tuduhan impeachment untuk memberikan keterangan dalam persidangan MK menurut versinya bilamana Presiden dan/atau Wakil Presiden menganggap bahwa pendapat maupun keterangan yang diberikan oleh DPR dalam persidangan MK tidak benar.
Dalam hal penunjukan kuasa hukum dalam persidangan MK maka Presiden dan/atau Wakil Presiden juga memiliki hak untuk didampingi atau diwakili oleh kuasa hukum. Namun untuk mencegah adanya distorsi akan lebih baik bilamana Presiden dan/ atau Wakil Presiden hadir dalam persidangan MK sebagaimana Presiden dan/atau Wakil Presiden diwajibkan hadir untuk memberikan keterangan dalam rapat pembahasan Panitia Khusus yang dibentuk oleh DPR sebagaimana diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPR.
2.    Syarat Formil Permohonan dan Pokok Perkara
Syarat formil permohonan berarti permohonan tersebut harus mencantumkan hal-hal yang harus dipenuhi diluar dari substansi perkara. Sedangkan pokok perkara berarti permohonan tersebut harus menguraikan secara jelas substansi perkara dan hal-hal yang dimohon untuk diputus dalam hal ini yaitu benar atau salahnya pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah malakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/ atau Wakil Presiden.
a.    Syarat Formil
Sebagaimana telah disebutkan bahwa syarat formil adalah persyaratan yang harus dipenuhi dalam permohonan mengenai halhal
diluar substansi perkara. Secara umum, dalam pelaksanaan hukum acara kewenangan MK selama ini (Pengujian UU terhadap UUD dan Perselisihan Hasil Pemilu) ada 2 (dua) syarat formil permohonan yaitu (i) pemohon memenuhi persyaratan legal standing dan (ii) perkara tersebut termasuk dalam kewenangan MK untuk mengadilinya.
Dalam hal pelaksanaan kewajiban memutus pendapat DPR atas tuduhan impeachment kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden, UU MK menambah satu persyaratan formil yang harus dipenuhi oleh DPR yaitu bahwa DPR harus memenuhi prosedur pengambilan keputusan atas tuduhan impeachment sesuai dengan UUD 1945 (pasal 7B ayat (3)) serta Peraturan Tata Tertib. Persyaratan formil ini secara implisit diatur dalam pasal 80 ayat (3) UU MK yang mengatur ketentuan bahwa pemohon wajib menyertakan keputusan DPR dan proses pengambilan keputusan yang diatur dalam pasal 7B ayat (3) UUD 1945, risalah dan/atau berita acara rapat DPR juga buktibukti atas tuduhan impeachment tersebut.
Dengan demikian Sidang Panel Hakim  yang melakukan sidang pemeriksaan pendahuluan harus memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan kemudian wajib memberi nasihat kepada pemohon untuk melengkapi dan memperbaiki permohonan.
Dalam hal pemeriksaan syarat formil permohonan memutus pendapat DPR atas tuduhan impeachment kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden maka ada 3 (tiga) persyaratan yang harus dipenuhi yaitu (i) masalah legal standing, (ii) masalah kewenangan MK untuk mengadili dan (iii) masalah prosedural yang harus dipenuhi DPR dalam mengambil keputusan atas pendapat tersebut.
Konsekuensi bilamana salah satu persyaratan ini tidak dipenuhi maka amar putusan MK akan menyatakan bahwa permohonan tidak dapat diterima.

b.    Pokok Perkara
UUD 1945 dan UU MK seolah membuat klasifikasi pokok perkara tuduhan impeachment kedalam 2 (dua) kelompok yaitu (a) Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hokum dan (b) Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.  Yang termasuk dalam pelanggaran hukum dalam kelompok pertama adalah berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela. Sedangkan yang termasuk dalam kelompok kedua yaitu syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden adalah sebagaimana ditentukan dalam pasal 6 ayat (1) UUD 1945 serta pasal 6 UU nomor 23 tahun 2003 sebagai penjabaran dari pasal 6 ayat (2) UUD 1945.
Akan tetapi pengelompokkan ini tidak membawa dampak hukum yang berbeda. Karena bilamana Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan salah satu dari perbuatan melanggar hukum sebagaimana termasuk dalam kelompok pertama maupun Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana termasuk dalam kelompok kedua maka amar putusan MK adalah membenarkan pendapat DPR. Namun bila Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak terbukti melakukan pelanggaran hukum dan/atau tidak terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/ atau Wakil Presiden maka amar putusan MK adalah menyatakan permohonan ditolak.


3.    Proses beracara di MK
UU MK memberikan batasan waktu 90 hari, setelah permohonan didaftar pada Buku Registrasi Perkara Konstitusi di kepaniteraan, bagi MK untuk memutus pendapat DPR mengenai tuduhan impeachment kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden. Selama kurun waktu itu ada beberapa tahapan persidangan yang harus dilakukan MK sebelum mengambil putusan. Tahapan siding pertama yaitu pemeriksaan pendahuluan, tahapan sidang kedua yaitu pemeriksaan persidangan yang didalamnya termasuk siding pembuktian sebelum akhirnya digelar sidang pembacaan putusan sebagi tahapan akhir.
a.    Pemeriksaan Pendahuluan
Pada pelaksanaan hukum acara kewenangan MK yang lain, sidang pemeriksaan pendahuluan dilakukan oleh sidang panel hakim yang terdiri dari 3 orang. Sidang Pemeriksaan Pendahuluan bertujuan untuk memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan sebelum masuk dalam pemeriksaan pokok perkara.  Pada tahapan ini Majelis Hakim wajib memberi nasihat kepada pemohon untuk melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan.
Berkaitan dengan permohonan dalam perkara memutus pendapat DPR atas tuduhan impeachment kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden maka hal-hal yang perlu diperiksa pada tahapan pemeriksaan pendahuluan adalah syarat-syarat formil dan kelengkapan administrasi yang meliputi
    legal standing
Majelis hakim memeriksa apakah benar bahwa pemohon dalam perkara ini adalah DPR atau kuasa yang ditunjuk oleh DPR.
    Kewenangan MK untuk mengadili perkara
Majelis Hakim memeriksa apakah benar perkara yang diajukan oleh pemohon termasuk dalam kewenangan MK untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara ini.
    prosedur pengambilan keputusan DPR
Majelis Hakim memeriksa apakah proses pengambilan keputusan DPR atas pendapat bahwa Presiden dan/atau wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden telah sesuai dengan prosedur yang diatur dalam Pasal 7B ayat (3) UUD 1945 dan Peraturan Tata Tertib DPR. Dalam rangka memenuhi hal ini maka permohonan DPR hendaknya menyertakan (i) keputusan DPR, (ii) risalah sidang DPR dan (iii) berita acara rapat DPR yang berkaitan dengan proses pengambilan keputusan sebagaimana diatur dalam pasal 7B UUD 1945 dan Peraturan Tata Tertib DPR.
    Bukti-bukti
Majelis Hakim memeriksa apakah bukti-bukti yang diajukan dalam permohonan telah memadai untuk melakukan proses impeachment di MK. MK juga harus menetapkan standar bukti permulaan yang cukup sehingga proses pemeriksaan pendapat DPR dapat dilanjutkan pada tahap berikutnya. Mengenai standar bukti permulaan yang cukup ini, MK harus mengacu pada standar bukti pada hukum acara pidana mengingat bahwa tuduhan impeachment adalah terutama berkaitan dengan perbuatan pidana yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. MK juga harus menetapkan jumlah bukti yang harus diajukan oleh DPR dalam permohonannya. Pasal 183 KUHAP menentukan bahwa untuk menjatuhkan pidana kepada seseorang, sekurang-kurangnya dibutuhkan 2 (dua) dari 5 (lima) jenis alat bukti yang sah.
Apakah MK juga akan menetapkan bahwa DPR harus melampirkan minimal 2 (dua) alat bukti dalam permohonannya ataukah harus lebih? Mengingat bahwa kasus impeachment adalah kasus khusus yang membutuhkan penanganan dan persyaratan yang istimewa.
Pasal 184 ayat (1) KUHAP menyebutkan alat-alat bukti yang sah adalah:
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa.
Bilamana mengacu pada KUHAP maka timbul permasalahan yaitu apakah keterangan saksi dan/atau ahli yang disampaikan dalam rapat panitia khusus DPR dapat digolongkan pada alat bukti yang sah. Hal ini mengingat bahwa saksi dan ahli hanya dapat legitimasi didepan sidang. Apakah rapat panitia khusus DPR termasuk sebagai sidang yang dapat mengangkat saksi dan ahli? UU MK sendiri mengatur bahwa bila pemohon ingin mengajukan saksi dan/atau ahli dalam persidangan maka biodata saksi dan/atau ahli dapat dilampirkan dalam permohonan.
Namun lampiran pengajuan nama saksi dan/atau ahli tidaklah termasuk dalam kualitas alat bukti yang harus dilampirkan dalam permohonan DPR. Keterangan saksi dan/atau ahli yang diajukan pemohon tersebut menjadi alat bukti bagi majelis hakim untuk menjatuhkan putusan.
Oleh sebab itu bila mengacu pada jenis alat bukti yang sah menurut KUHAP maka kemungkinannya hanya ada 2 (dua) jenis alat bukti yang sah yang dapat diajukan DPR dalam permohonannya dimana alat bukti tersebut snagat kuat dan tidak lagi menimbulkan perdebatan yaitu alat bukti surat dan alat bukti petunjuk.
    Daftar nama calon saksi dan calon ahli
Memeriksa apakah dalam permohonan telah dicantumkan daftar nama calon saksi dan calon ahli. Daftar nama ini menjadi penting mengingat prosedur beracara untuk memutus pendapat DPR ini dibatasi oleh waktu, selain itu karena keterangan yang diberikan oleh saksi maupun ahli merupakan bahan pertimbangan yang berharga mengingat proses beracara di MK dalam rangka memutus pendapat DPR ini bersifat adversarial.
b.    Pemeriksaan Persidangan
Pemeriksaan persidangan dilakukan dalam sidang pleno Majelis Hakim. Dalam persidangan majelis hakim memeriksa permohonan beserta alat bukti yang diajukan. Pada pasal 41 ayat (2) UU MK yang mengatur secara umum mengenai pemeriksaan persidangan disebutkan bahwa demi kepentingan pemeriksaan maka majelis hakim wajib untuk memanggil pihak-pihak yang berperkara untuk memberi keterangan yang dibutuhkan. Selain itu, demi kepentingan pemeriksaan majelis hakim juga wajib meminta keterangan secara tertulis kepada lembaga negara yang terkait dengan permohonan.
Dalam kaitan dengan permohonan pendapat DPR ini maka DPR sebagai pemohon wajib hadir dalam setiap sidang pemeriksaan permohonan pendapat DPR yang digelar oleh MK. Hal ini selain untuk melindungi kepentingan DPR sebagai pemohon dengan mengetahui perkembangan perkara juga agar DPR dapat senantiasa dimintai keterangan yang berkaiatan dengan perkara ini.
Sedangkan bagi Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagai pihak yang sangat berkaitan dengan perkara ini, meskipun peradilan MK bersifat adversarial dan kehadiran Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam persidangan MK bukan merupakan suatu keharusan, namun demikian kehadiran Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam persidangan amatlah penting untuk menjaga kepentingan Presiden dan/atau Wakil Presiden.
c.    Putusan
Yang menjadi obyek dalam perkara ini adalah pendapat DPR yang menyatakan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga melakukan pelanggaran hukum dan/atau diduga telah tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai Presiden dan/atau wakil Presiden. Kewajiban MK adalah untuk memberi putusan atas pendapat DPR ini.
Oleh karena itu ada 3 (tiga) kemungkinan putusan yang dijatuhkan MK atas perkara ini. Kemungkinan pertama adalah amar putusan MK menyatakan permohonan tidak dapat diterima bilamana permohonan tidak memenuhi persyaratan formil sebagaimana telah dijabarkan sebelumnya atau sebagaimana mengacu pada pasal 80 UU MK.  Kemungkinan kedua adalah apabila MK memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak terbukti melakukan pelanggaran hukum dan/atau tidak terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden maka amar putusan MK menyatakan bahwa permohonan ditolak.
Kemungkinan ketiga adalah apabila MK memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum dan/atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden maka amar putusan MK menyatakan membenarkan pendapat DPR.
4.    Implikasi Putusan MK
UUD 1945 maupun UU MK menyebutkan kewajiban MK untuk memutus pendapat DPR dalam bagian yang berbeda dengan kewenangan MK yang lain.  Maka penafsiran atas pemisahan pancantuman ketentuan tersebut adalah bahwa MK memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban. Permasalahannya adalah apakah pemisahan pencantuman ini juga berdampak pada kewenangan mengadili MK dan sifat putusannya? Pada ketentuan yang mengatur masalah kewenangan MK disebutkan bahwa MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir. Selain itu, sifat putusan MK atas empat kewenangan tersebut bersifat final. Sedangkan ketentuan yang mengatur masalah kewajiban MK hanya disebutkan bahwa MK wajib memberikan putusan. Dengan demikian, apakah hal ini berarti bahwa kewajiban MK untuk memberi putusan atas pendapat DPR tidak pada tingkat pertama dan terakhir? Dan apakah putusan MK atas pendapat DPR tidak bersifat final?
Sebelum berangkat pada pembahasan masalah kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir serta apakah sifat putusan MK juga bersifat final pada perkara memutus pendapat DPR maka untuk mengerucutkan permasalahan perlu dipahami bahwa masalah-masalah tersebut hanya akan muncul apabila putusan MK adalah membenarkan pendapat DPR. Apabila putusan MK adalah menolak permohonan atau menyatakan permohonan tidak dapat diterima, Konstitusi telah menutup segala kemungkinan bagi DPR untuk melanjutkan proses impeachment ke MPR.
Ada berbagai macam kelompok pendapat yang menafsirkan hal ini. Kelompok Pertama yang melihat bahwa pemisahan kewajiban dari kewenangan-kewenangan MK lainnya adalah karena memang putusan MK atas pendapat DPR itu tidak pada tingkat pertama dan terakhir serta sifat putusan tersebut tidaklah final dan mengikat. Landasan pemikiran kelompok pertama ini adalah karena bilamana putusan MK adalah membenarkan pendapat DPR, maka DPR akan meneruskan proses impeachment ke MPR. Yang berarti bahwa ada institusi lain setelah MK yang menilai pendapat DPR tersebut. Dan putusan MK bukanlah kata akhir dalam proses impeachment. MPRlah yang memiliki kata akhir atas proses impeachment melalui keputusan yang diambil dengan suara terbanyak. Putusan MK digunakan sebagai bahan pertimbangan oleh anggota MPR dalam mengambil keputusan tersebut. Yang kemudian akan timbul permasalahan adalah bilamana Keputusan yang diambil oleh suara terbanyak di MPR berbeda dengan putusan MK karena putusan MK tidak memiliki sifat final dan mengikat. Secara sosiologis, dampak atas perbedaan putusan di dua lembaga negara ini akan menimbulkan kebingungan di masyarakat.
Kelompok kedua yang menyatakan bahwa putusan MK atas pendapat DPR bersifat final dan mengikat. Artinya bahwa putusan MK atas pendapat DPR itu adalah final dari segi yuridis dan seharusnyalah mengikat semua pihak yang terkait dengan putusan ini. Jadi meskipun ada institusi lain yang melanjutkan proses impeachment, yaitu MPR, maka institusi ini tidak melakukan review atas putusan MK yang bersifat yuridis tapi menjatuhkan keputusan dari sisi politis karena menggunakan mekanisme pengambilan suara terbanyak sehingga putusan MK adalah putusan yang final dari sisi yuridis. Mengenai kekuatan mengikat dari putusan MK maka sesungguhnya putusan MK ini juga memiliki kekuatan mengikat kepada MPR. Namun ada semacam celah dalam kelompok ini yang berpendapat bahwa meskipun memiliki kekuatan mengikat, putusan MK ini juga bersifat non-executable.
Bilamana putusan MK sama dengan keputusan yang diambil oleh MPR maka masih tersisa sebuah permasalahan yaitu apakah Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana atas pelanggaran hukum yang dilakukan sehingga dia diberhentikan dari jabatannya? Bilamana hal ini dapat dilakukan apakah bukan berarti beretntangan dengan asas ne bis in idem?
Dari perspektif bahwa yang menjadi obyek perkara dalam pemeriksaan perkara di MK adalah pendapat DPR semata maka Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagai pelaku pelanggaran hukum tidak menjadi obyek dalam proses ≤impeachment di MK. Oleh sebab itu proses peradilan di Pengadilan Negeri untuk meminta pertanggungjawaban pidana atas pelanggaran hukum yang dilakukan tidak bertentangan dengan asas ne bis in idem  Selain itu MK adalah peradilan tata negara yang mengadili jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden sedangkan Pengadilan Negeri adalah cabang peradilan dalam Mahkamah Agung yang mengadili pertanggungjawaban individu atas perbuatan yang dilakukannya. MK dan Peradilan negeri memiliki wilayah kewenangan yang berbeda sehingga tidak bertentangan dengan asas ne bis in idem. Namun demikian yang perlu menjadi catatan adalah bahwa selayaknya
pertimbangan hukum serta putusan yang dijatuhkan MK menjadi bahan pertimbangan hakim pengadilan negeri (hakim tinggi bila mengajukan banding serta hakim agung bila mengajukan kasasi) dalam menjatuhkan putusan terhadap kasus tersebut sehingga ada keselarasan putusan hukum antara MK dengan PN (PT maupun MA). Sehingga hakim pengadilan negeri (hakim tinggi maupun hakim agung) tidak melakukan review atas putusan MK. Terkecuali memang bilamana ditemukan bukti baru yang menguatkan kedudukan mantan Presiden dan/atau Wakil Presiden sehingga dapat lepas dari pertanggungjawaban pidana atas pelanggaran hukum yang dilakukannya ketika menjabat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.



PENUTUP
A.    Kesimpulan
Perubahan UUD telah membuat DPR menjadi lembaga yang sangat berdaya, untuk tidak menyebut sangat berkuasa, karena DPR banyak memegang peranan penting dalam jalannya system ketatanegaraan. Landasan atas diberikannya kewenangan yang demikian penting di DPR adalah berangkat dari kebutuhan akan adanya mekanisme kontrol yang kuat akibat dari pelajaran rezim otoritarian dimasa lalu yang dipegang oleh penguasa pemerintahan. Mekanisme kontrol yang dilakukan DPR dengan mengawasi jalannya pemerintahan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden ini pula yang menjadi sebuah awal bagi dimulainya proses impeachment di Indonesia
B.    Saran dan Tanggapan
Demikian Makalah yang dapat kami rangkum, Semoga makalah ini dapat menjadikan gambaran awal untuk memulai diskusi, Kami dari pemakalah mengucapkan terimakasih atas saran dan tanggapan pembaca. Semoga bermanfaat.



Daftar Isi

•    UU nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
•    UUD NRI 1945
•    Victoria Neufeldt, Webster’s New World Dictionary. New York: Prentice all,1991
•    Kompas, edisi Senin, 19 Februari 2001
•    Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary: Definitions of the Terms and Phrases of American and English Jurisprudence, Ancient and Modern (St. Paul, Minn.: West Group, 1991)
•    Pusat Penelitian dan Pengkajian Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Tahun 2005
Last update